Friday, November 30, 2012

Diversity

Kepompong
Bagi yang melihatnya, hanya gumpalan benang putih
Ya, mereka tahu di dalamnya ada kehidupan
Meski tak tahu seperti apa 'kehidupan' didalamnya
Kehidupan yang mati
Atau kehidupan yang tertidur?

Benar namun salah.

Bagi si ulat, kepompong adalah kunci
Tentu saja harus dibuka
Bagaimana ia dapat bebas tanpa dibuka
Bagaimana ia dapat harus menjadi kupu-kupu yang menawan?
Kunci untuk menjadi individu baru

Ulat harus meraba dan melihat 
Tanpa mata dan saraf pada kulitnya
Cih! Boro-boro
Dia saja terkungkung
Tetapi ulat harus meraba dan melihat
Apa yang telah terjadi di semesta ini
Lalu disimpannya dalam memori
Tentu saja, dari dalam kepompong

Butuh waktu
Entah sampai kapan
Tidak bisa tergesa-gesa
Hingga kunci itu dapat ia buka sendiri
Lalu menjadi individu yang menawan
Tanpa menghapus memori yang sama dengan rupa ulatnya

Setelah menjadi kupu-kupu
Ulat tetaplah seekor ulat
Namun kini hidup dengan cara kupu-kupu
Cara yang berbeda
Cara yang lebih indah..

Tuesday, November 13, 2012

Sorry, I'm a "deaf"


''...Apa kamu udah siap?"


Deg. Deg. 100x deg! "Gue salah denger, gak?" Gue nanya dalam hati.


***
Katanya tuli.. tapi kok bisa denger?

Yak. Alhamdulillah, yah, panca indera gue semuanya berfungsi secara normal, Alhamdulillah yahhh.. *benerin pony-cetar-membahana*

Ini semua berawal dari dialog diatas plus beberapa kejadian beberapa hari yang lalu. Gue dikasih pertanyaan kayak gitu. Nah, entah kenapa,gue sendiri tuh kalo disoroti beberapa pertanyaan yang menyinggung diri sendiri dan well, gue sendiri pasti masih merasa terponjokkan sama pertanyaan itu. Gak kesel sih, cuma rasanya kayak 'dicubit'; sepele, tapi tetep ngerasa sakit. Salah satunya sama pertanyaan diatas. Itu pertanyaan yang paling basic. Juga, pertanyaan yang lebih sentimentil di telinga gue daripada ditanya udah pacar apa belum. Kembali lagi, ditambah lagi gue udah kelas 12. Makin sentimentil pulalah pertanyaan itu di telinga gue. Demi deh, that's the most annoying question I've ever heard.

Emang sih, itu pertanyaan bikin gue mikir ke diri gue sendiri, merefleksikan diri sendiri, sejauh apa lo udah prepare. Gak ada salahnya juga sama pertanyaan tersebut. Sebelum ditanyain kayak gitu sih gue juga ditanyain apa alasan gue memilih pilihan tersebut. Gimana caranya gue bisa memastikan diri gue siap apa belum? Gimana caranya gue jawab pertanyaan itu setelah sekian detik pertanyaan itu dilontarkan? Man, gue bahkan belum mencicipi bagaimana rasanya setelah gue mencapai dan mendapatkan pilihan itu sampe nyata. Sampe nyata. Selain itu, gue rasa emang pilihan gue agak anti-mainstream daripada temen-temen gue.

"Kenapa sih lo selalu membandingkan diri lo sendiri dengan orang lain? Tiap orang kan punya beda-beda ciri khas dan tentunya pilihan yang berbeda pula"

Right. Itu bener banget. Udah sering denger juga sama advice yang kayak gitu. Tapi, berkaitan sama pertanyaan pertama diatas, kenapa gue dipertanyakan seolah-olah gue harus menjadi orang lain dan memilih pilihan yang lain juga disaat gue sudah mulai beradaptasi dengan diri sendiri dan mulai menentukan pilihan? Apa memang guenya yang terlalu sentimentil padahal beliau hanya ingin tahu gue udah siap apa belum?

Apa emang cuma gue aja yang tetep kekeuh dan keras kepala sama pilihan gue meskipun sudah diperlihatkan resiko-resiko apa aja yang bakalan dihadapi?

Setiap orang pasti memilah dan memilih diantara pilihan-pilihan yang sudah tersedia, mereka juga harus memilih pilihan yang terbaik, bukan? Same with me, then. Gue sendiri emang pengen milih pilihan itu ya emang karena worth it to try. Valuable aja menurut gue. So, saya memilih jadi 'tuli' sementara untuk saat ini. Huaah! Bener juga, life is a choice ya? Doakan saya cepet-cepet dapet hidayah sama Yang Maha Kuasa kalau pilihan yang saya ambil memang bener-bener worth it!!! Fyuuuh.

I have a normal hearing ability, but "deaf". For a moment. Ini lebih baik.