Udah jadi rahasia umum kali ya, Jakarta, ibu kota kita ini merupakan salah satu tersibuk di dunia. Dampak kesibukan si Jakarta ini yang gak diimbangin sama sistem transportasi yang bergelut di dalamnya, sampai-sampai Jakarta memiliki predikat kota yang mempunyai 'kehidupan jalan' ke-2 terjelek di dunia. Ya macetnya lah, tata kotanya lah, dan ditambah premanisme yang bikin pusing kepala setiap pulang beraktifitas. Okay, sebetulnya sih ya postingan kali ini gak ada sangkut pautnya sama 'kehidupan jalan' gitu. Tenang-tenang, gue gak mau pidato, kok. Apalagi orasi. Gubernur aja udah kepilih ngapain gue repot-repot orasi. Iya, gue tau gue gak nyambung...
Jadi gini, Readers (itu juga kalo ada yang baca), sebagai pengguna rutin angkutan umum di Jakarta dan gue sudah terlalu sering korban 'keganasan' jalanan ini. Sudah entah berapa banyak menit bahkan jam-jam yang bisa gue pake dengan hal-hal yang lebih bermanfaat udah kebuang di jalan. Okay, ini mungkin faktor rumah gue juga kali ya yang jauh dari sekolah. Otomatis, hampir tiap hari juga gue suka ngamatin orang-orang yang satu angkutan sama gue dengan semakin lamanya gue menggunakan fasilitas umum ini. Gak bermaksud kepo, loh. I mean, cuma perhatiin mereka seperti layaknya stranger aja.
Udah beratus-ratus orang yang berbeda-beda gue temuin di angkutan. Berbagai profesi, lah, yang jelas. Apalagi habis pulang sekolah, makin heterogen, deh, profesinya. Berarti, udah beratus-ratus muka orang yang memasang muka-bete-plus-letih nya yang berbeda-beda juga. Tapi ekspresinya sama, yaaaa itu, bete dan letih. Mungkin gue juga kalo diliat sama mereka dari luar sama aja kayak ekspresi mereka, memasang muka letihnya gue. Bete mah kondisional tertentu aja, ya. Hehe.
Nah, gara-gara ikut seminarnya Kak Arif Rahman pekan lalu di sekolah gue yang ngejelasin tentang apa itu passion, kenapa kita harus punya passion, dan hal-hal yang berhubungan dengan passion lainnya, gue jadi semakin peka sama passion gue sendiri. Gue sendiri yang belum peka sama passion sendiri. Kak Arif juga berkata setiap orang itu kodratnya memiliki passion-nya sendiri-sendiri dari lahir. Makanya, akhir-akhir ini gue suka ngamatin berbagai macam profesi yang ada, yang sering gue liat, tidak terkecuali mereka-mereka yang gue temuin di angkutan umum.
Gue nanya juga sama Ayah gue apa itu passion, Ayah gue jawab, "Passion itu hasrat. Secapek apapun kamu nanti beraktifitas sama passion kamu, kamu tetep seneng. Gitu, La."
Pemikiran gue masih primitif ini selalu percaya bahwa orang-orang yang sudah bekerja itu adalah orang-orang yang passion-nya sudah tersalurkan di dalam pekerjaan mereka. Dan mereka bahagia mengerjakannya, meskipun mereka tetap letih dan masalah-masalah yang ada di hadapan mereka, mereka tetap bahagia.
Gue ngeliat Kak Arif bahagia banget motivasiin kita untuk nemu passion kita. Dia juga bilang "Saya motivator. Dan memang, passion saya ya gini, motivasiin orang." tentu saja, dia menyampaikannya dengan nada riang dan bangga karena ia telah menyalurkan passion-nya di dalam pekerjaan mereka. Kak Arif bahagia. Ditambah lagi, ia sudah menemukan sekaligus bekerja dengan passion-nya di umurnya yang beli. Sungguh bahagia, bukan?
Tapi bagaimana segelintir orang yang saya amati di angkutan? Tampangnya letih, bosan, tidak memancarkan kebahagiannya setelah bekerja. Meskipun saya tahu, letih itu pasti ada. Tapi ini berbeda, ekspresinya tidak menunjukkan bahwa pekerjaannya adalah passion-nya. Tidak bahagia. Tapi apakah ada kata bosan untuk passion itu? Meskipun saya tahu, jenuh itu pasti ada, tetapi bukan bosan. Bosan menurut saya, ya, bosan. Tinggal. Cari hal yang baru. Beres. Dan itu namanya bukan passion.
Jadi, masih banyak orang, ya, yang bekerja tetapi tidak sesuai dengan passion mereka?
Semua orang ingin bahagia kan?
Saya ingin bahagia dengan passion saya. Meskipun saya belum tahu pasti apa passion saya, saya ingin bahagia dengan pekerjaan saya kelak. Saya ingin tetap bahagia dikala saya letih ketika beraktifitas dengan passion saya. Ya, Saya ingin bahagia.
CMIIW.
ngomongin passion emang gak ada habisnya :)
ReplyDelete